Dalam aksinya, elemen masyarakat Bali yang terdiri dari Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi (Gempar) Teluk Benoa, Walhi Bali, warga dan tokoh Tanjung Benoa menggunakan puluhan perahu di perairan Teluk Benoa. Sepanjang perjalanan dari atas perahu yang mereka tumpangi mereka meneriakkan penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.
Salah satu warga Tanjung Benoa, Nonik yang menyampaikan orasi, menegaskan, izin yang dikeluarkan Gubernur Pastika tidak sah dan melanggar undang-undang tentang lingkungan hidup. "Gubernur Pastika telah melakukan kebohongan publik demi kepentingan investor. SK tentang reklamasi Teluk Benoa harus dicabut," ujarnya, Jumat (2/8/2013).
Untuk itu, pihaknya mendesak Gubernur Mangku Pastika meminta maaf kepada warga Tanjung Benoa. Menurut Nonik, seharusnya Pastika hanya melakukan reklamasi Pulau Pudut, jangan mereklamasi dan menjual Teluk Benoa ke investor.
Penolakan keras juga disampaikan tokoh masyarakat Tanjung Benoa Wayan Budiasa yang menilai Gubernur Pastika tidak tahu sejarah leluhur yang menyelamatkan Bali. "Tindakan Gubernur Pastika saat ini bertolak belakang dengan upaya penyelamatan Bali. Mangku Pastika hanya peduli pada investor dan tidak melihat kesengsaraan rakyat," ucapnya.
Sementara, Korlap Gempar Made Wijaya yang secara tegas menolak reklamasi Teluk Benoa kawatir jika tanjung akan tenggelam dan membunuh biota laut. "Saya dengan tegas menolak reklamasi karena akan mematikan biota laut dan menyengsarakan masyarakat tanjung Benoa," pekiknya.
Gempar memandang, SK Gubernur Bali No. 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa untuk PT TWBI harus dicabut karena akan menyengsarakan rakyat khususnya masyarakat Tanjung Benoa.
Sementara itu, Ketua Walhi Bali Wayan 'Gendo' Suardana menyerukan agar masyarakat Bali bersatu menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. "Kerusakan di Teluk Benoa tidak hanya menjadi bencana bagi masyarakat di sekitar Teluk Benoa saja, melainkan Bali secara keseluruhan," tegasnya.[man]
Selasa, 06 Agustus 2013
Reklamasi Teluk Benoa Tambah 200.000 Lapangan Kerja
Denpasar – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali telah mengeluarkan izin kepada investor terkait reklamasi Teluk Benoa, Bali. Pemprov menegaskan, izin reklamasi itu bukan bermaksud untuk menjual pulau. Bahkan, reklamasi itu menambah 200.000 lapangan kerja.
“Saya tegaskan, pulau hasil reklamasi nanti bukan milik investor, tetapi akan menjadi milik kita dan daratan Bali akan bertambah. Setengah dari luas yang direklamasi itu atau sekitar 400 hektare bahkan akan dijadikan hutan. Artinya, luasan hutan kita akan bertambah,” kata Gubernur Bali Made Mangku Pastika di Kantor Gubernur Bali, Sabtu (3/8).
Pernyataan itu disampaikan saat Gubernur Bali mengundang sekitar 200 komponen masyarakat Bali mulai dari akademisi, tokoh masyarakat, pejabat, aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat. Pertemuan sengaja dilakukan karena berkembang wacana pro dan kontra terkait kebijakan Gubernur Bali yang mengeluarkan izin reklamasi di Teluk Benoa.
Dikatakan, memang yang akan direklamasi sebesar 838 hektare, tetapi luasan hasil reklamasi yang murni untuk kepentingan bisnis investor sekitar 100 hektare dan 300 hektare sisanya dibangun berbagai fasilitas umum, serta 400 hektare lebih untuk kawasan hutan. “Investor yang memegang izin juga wajib merehabilitasi kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan usahanya dan melaporkan kegiatannya secara berkala kepada gubernur setiap enam bulan,” katanya.
Terbitnya SK bernomor 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional, lanjut Pastika, bukan berarti mereka dapat melakukan usaha sebebasnya. Pemegang izin diwajibkan mengikuti dan menaati prosedur perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku, melakukan kajian pembangunan kawasan daratan penyangga, melaksanakan Amdal dan wajib mempekerjakan masyarakat sekitar untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
“Reklamasi itu sedikitnya akan terbuka 200.000 lapangan kerja dan per hari ada tambahan pajak hotel dan restoran (PHR) mencapai Rp 5 miliar dari transaksi bisnis yang terjadi di sana. Memang setiap pembangunan ada risiko plus minusnya, untuk itu mari kita hitung untung ruginya dari upaya reklamasi itu, jangan menolak pembangunan tanpa dasar yang jelas,” katanya.
Mantan Kapolda Bali ini juga mengatakan, kendati pihaknya sudah mengeluarkan izin reklamasi, namun prosesnya sudah selesai. Sebab, harus ada kelanjutan dan prosedur yang harus diikuti pemegang izin untuk koordinasi dengan pemerintah daerah tingkat II sebagaimana di atur oleh UU. “Artinya, pihak pemegang izin harus kordinasi dengan Pemda Tingkat II Badung selaku penguasa wilayah di Teluk Benoa.
Juru Bicara Lembaga Pengkajian dan Peneliti Masyarakat (LPPM) Unud, IB Putu Adnyana mengatakan, tugas timnya baru pada kajian awal sesuai dengan apa yang dilakukan di lapangan dan belum final. Hal awal yang dikaji adalah persoalan kawasan teluk benoa yang rawan tsunami dan posisinya.
Kajian itu juga untuk melihat aspek lingkungan dan social budaya sesuai dengan tim yang terlibat dan bahkan tim social budaya sempat beretatp muka dengan Bendesa Adat Tanjung Benoa.
Lebih lanjut Adnyana mengatakan, karena baru dalam proses awal maka belum ada kesimpulan final dan baru sebatas melihat beberapa hal apakah proyek itu layak dilanjutkan, layak tetapi harus ada syaratnya, dan tidak layak sama sekali. Sebab, timnya ditugaskan bagaimana membangun sebuah destinasi baru pariwisata untuk kelanjutan dari pembangunan Bali di Teluk Benoa.
Lebih jauh Adnyana mengatakan, jangan berpikir kalau reklamasi yang dilakukan tersebut luasnya 880 hektare sesuai wacana yang berkembang sehingga kalau itu dilakukan tentu menjadi tanda tanya besar. “Kalau betul dilakukan lantas material utnuk reklamasi dari mana, dan biasa jadi jalan tol ikut kena urug,” katanyasekaligus minta kepada peserta supaya masyarakat jangan dulu apriori.
Penulis: 137/O-1/NAD
Sumber:Suara Pembaruan
Langganan:
Postingan (Atom)